Mahyuddin Soroti Celah OSS: Tenaga Ahli Konstruksi Jadi ‘Sewaan’ Demi Penuhi Syarat

PPU – Kemudahan perizinan berusaha melalui sistem Online Single Submission (OSS) dinilai berhasil memangkas birokrasi, tapi tak sepenuhnya menyelesaikan persoalan di lapangan. Anggota Komisi I DPRD Penajam Paser Utara (PPU), Mahyuddin, menilai sistem OSS justru membuka celah baru dalam praktik pemenuhan persyaratan usaha, khususnya di sektor jasa konstruksi.
“Kalau dari sisi OSS sih sebenarnya cukup membantu, karena mereka bisa langsung upload dan semua persyaratan sudah terpenuhi, bisa langsung keluar. Tapi permasalahannya itu ketika mereka harus memenuhi persyaratan itu yang kadang tidak mampu,” ujar Mahyuddin dalam keterangannya.
Salah satu permasalahan yang mencuat, menurut Mahyuddin, adalah ketentuan tenaga kerja bersertifikat. Jika sebelumnya perusahaan jasa konstruksi cukup memiliki tenaga teknik biasa, kini mereka wajib menyiapkan tenaga ahli dengan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK), dan jumlahnya tidak sedikit.
“Contohnya, misalnya di jasa konstruksi. Kalau dulu mereka cukup punya tenaga teknik, ya biasa-biasa saja, sekarang harus bersertifikat,” katanya.
Lebih lanjut, Mahyuddin mengungkapkan bahwa dalam praktiknya, satu perusahaan jasa konstruksi bisa membutuhkan hingga tiga atau empat tenaga ahli bersertifikat SKK. Namun, biaya sertifikasi yang mahal membuat banyak perusahaan kecil kesulitan memenuhinya.
“Satu perusahaan itu kadang butuh tiga atau empat tenaga ahli bersertifikat SKK (Sertifikat Kompetensi Kerja), ya itu kan mahal,” jelasnya.
Kondisi ini melahirkan praktik akal-akalan. Mahyuddin menyebut muncul fenomena “tenaga ahli sewaan” — individu yang meminjamkan nama dan sertifikat SKK-nya ke sejumlah perusahaan tanpa benar-benar bekerja di lapangan. Nama mereka digunakan untuk memenuhi syarat OSS, lalu menerima imbalan dalam bentuk fee.
“Nah, akhirnya muncul tuh tenaga ahli ‘sewaan’. Ada yang punya SKK tapi dia tidak kerja di situ, cuma dipinjam namanya. Itu dipakai sama beberapa perusahaan, terus dia dapat fee,” ujarnya.
Praktik ini sulit terdeteksi dalam sistem OSS, karena secara administratif semua tampak legal. Namun di lapangan, menurut Mahyuddin, hal ini jelas menyalahi prinsip kelayakan teknis dan berisiko terhadap kualitas pekerjaan proyek, khususnya proyek infrastruktur publik.
“Nah, ini yang kadang tidak bisa diawasi dengan sistem OSS karena kelihatannya legal. Tapi di lapangan belum tentu seperti itu. Kami dapat laporan juga, makanya kadang kita lakukan sidak,” tegas Mahyuddin. (CBA/ADV DPRD PPU)