Thohiron Ingatkan Negara: Jangan Ganti Tanah Rakyat dengan Lahan Tak Memadai

PPU – Ketua Komisi II DPRD Penajam Paser Utara (PPU), Thohiron, mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan reforma agraria sebagai proyek nama semata. Di tengah masifnya proyek pembangunan, termasuk di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN), Thohiron menyoroti pentingnya keadilan bagi masyarakat yang lahannya terdampak, terutama mereka yang telah lama menempati dan menggarap tanah secara turun-temurun.
“Dalam konteks yang disebut reforma agraria itu, jangan cuma bahasanya saja yang bagus. Masyarakat awam itu kan bilangnya begini: ‘Lahanku diganti ke sana.’ Tapi ya jangan asal ganti. Harus yang menyerupai,” ujar Thohiron.
Menurutnya, praktik di lapangan sering kali tidak seindah narasi di balik nama besar program. Lahan yang digantikan memang dipindah, tetapi seringkali tidak dilengkapi akses jalan, sumber air, atau dokumen legal yang memadai. Hal ini bertentangan dengan semangat reforma agraria yang mestinya menjadi bentuk koreksi atas ketimpangan penguasaan tanah sekaligus menjamin kepastian hukum bagi rakyat kecil.
“Artinya begini, pemerintah harus memastikan bahwa pengganti lahan itu tidak hanya clean and clear, tapi juga memadai,” tegas Thohiron.
Ia mengungkapkan bahwa masyarakat yang terkena dampak pembangunan besar, seperti proyek bandara VVIP atau kawasan IKN, memiliki sejarah panjang atas tanah yang mereka kelola. Banyak dari mereka yang telah tinggal dan bertani di atas lahan tersebut selama puluhan tahun, bahkan sejak sebelum republik ini menetapkan peta batas administratif.
“Kenapa? Karena kalau saya lihat, masyarakat itu kan seperti warga transmigrasi. Mereka sudah menguasai lahan itu puluhan tahun. Tentu dengan harapan, ke depan mereka punya akses jalan yang cukup, bisa bertani dengan tenang,” katanya.
Namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Begitu proyek besar datang, masyarakat malah digeser lebih jauh ke lokasi yang belum tentu siap huni dan belum tentu produktif. Jika ganti rugi atau lahan pengganti yang diberikan tidak layak, Thohiron menilai negara telah gagal menjalankan prinsip keadilan sosial.
“Tapi begitu proyek besar datang, mereka justru digeser lebih jauh lagi. Nah, kalau kompensasinya tidak memadai, yang kasihan itu masyarakat. Sebagai negara, mestinya harus bisa melihat itu,” ucapnya.
Menurut Thohiron, jangan sampai pembangunan infrastruktur justru menciptakan korban baru, yakni masyarakat adat, petani, atau warga lokal yang tersingkir oleh kekuasaan tanpa perlindungan yang adil. Ia menegaskan bahwa jika pemerintah memang ingin serius menjalankan reforma agraria, maka penggantian lahan tidak cukup hanya formalitas administratif.
“Silakan saja mau reforma agraria, tapi tempat penggantinya harus jelas, clean and clear, dan memadai—jelas suratnya, dan sebagainya,” pungkasnya. (CBA/ADV DPRD PPU)