DPRD Soroti Turunnya Harga Gabah Usai Panen: “Masalahnya Bukan Cuma di Pasar”

PPU – Masa panen kedua menjadi masa krusial bagi petani, namun bukan berarti bebas dari masalah. Wakil Ketua I DPRD Penajam Paser Utara (PPU), Syahrudin M Noor, mengungkapkan bahwa persoalan terbesar yang selalu muncul di ujung musim tanam adalah rendahnya harga gabah di pasaran.
Namun menurutnya, persoalan ini tidak bisa hanya dilihat dari sisi distribusi atau pasar semata.
“Kalau masalah panen itu yang selalu dominan dikeluhkan itu juga masalah pasca panen yang dimana di pasar harganya rendah,” ujar Syahrudin.
Penurunan harga gabah, menurutnya, sering kali bukan karena pasar semata yang bermain harga, melainkan karena kualitas gabah petani yang belum maksimal. Syahrudin menekankan bahwa kualitas hasil panen sangat dipengaruhi oleh proses dari hulu ke hilir, mulai dari bibit, pengairan, pola tanam, hingga pemupukan.
“Kenapa rendah, karena kan kualitasnya kurang bagus. Kenapa kurang bagus? Tentu itu kan banyak faktor dari hulu ke hilir dicek, bagaimana kualitas bibit, air, perawatan, dan pupuk,” jelasnya.
Kritik ini menyorot pentingnya pendekatan menyeluruh dalam merumuskan kebijakan pertanian. Menurut Syahrudin, sistem pertanian di PPU belum sepenuhnya berangkat dari prinsip integratif, yang memperhitungkan keberlanjutan antara produksi dan hasil.
Akibatnya, ketika panen tiba, petani kerap dihadapkan pada realitas bahwa produk mereka tidak cukup kompetitif di pasaran, baik dari sisi mutu fisik maupun daya simpan.
“Jadi itu juga kan menyangkut outputnya kan ke kualitas produksi dan padinya nanti,” tambahnya.
Ia menilai, program bantuan pertanian saat ini masih terlalu fokus pada distribusi pupuk atau alat mesin pertanian (alsintan), tanpa pembinaan yang cukup terhadap teknik budidaya, manajemen irigasi, dan pascapanen. Padahal, semua faktor tersebut sangat menentukan mutu gabah, termasuk tingkat kekeringan, kepadatan bulir, hingga kandungan air. (CBA/ADV DPRD PPU)