Menjalin Komunikasi & Informasi

Penajam Paser Utara

Thohiron Soroti Peran Bank Tanah dan Minimnya Koordinasi Pusat dengan Daerah

PPU – Ketua Komisi II DPRD Penajam Paser Utara (PPU), Thohiron, menyampaikan keprihatinan atas peran Badan Bank Tanah yang dinilai mulai melewati batas mandatnya. 

Di tengah isu rencana pembangunan kawasan permukiman atau “ekosistem baru” di sekitar Bandara VVIP, Thohiron menegaskan bahwa fungsi Bank Tanah semestinya terbatas pada pengelolaan tanah negara yang terlantar—bukan membangun kota atau masuk ke wilayah pengembangan.

“Saya dengar badan bank tanah punya rencana bangun ekosistem baru di sekitar bandara VVIP. Nah itu saya enggak bisa komentar banyak. Soalnya kan sebenarnya bank tanah itu tugasnya hanya mengamankan tanah negara yang dianggap terlantar. Masa iya bank tanah bisa bangun kota?” ujar Thohiron dalam keterangannya.

Menurutnya, jika ada rencana kerja sama antara Bank Tanah dan pihak swasta dalam membangun kawasan permukiman atau pengembangan ekonomi baru, maka hal itu perlu ditinjau kembali dalam konteks kewenangan dan legitimasi. Sebab hingga saat ini, DPRD sebagai lembaga legislatif daerah nyaris tidak pernah diajak berdiskusi secara terbuka mengenai agenda besar tersebut, padahal wilayah yang dimaksud berada dalam yurisdiksi kabupaten.

“Kalau kemudian mereka kerja sama dengan swasta, ya mungkin saja. Tapi apakah itu kewenangan bank tanah? Itu wilayah pusat. Kita di daerah enggak begitu dilibatkan. Koordinasi dengan DPRD juga minim, padahal ini wilayah PPU,” tegasnya.

Thohiron menyayangkan pola komunikasi yang tertutup dari pemerintah pusat dalam setiap pengambilan keputusan strategis, terutama yang berkaitan dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kawasan sekitarnya. Ia menyebutkan bahwa setelah proyek dikategorikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), maka seluruh proses seolah menjadi domain pusat sepenuhnya, tanpa melibatkan pemerintah daerah sebagai pemilik wilayah dan representasi rakyat setempat.

“Sekarang ini, kalau sudah proyek strategis nasional, pusat bisa lakukan apa saja di tingkat daerah. Itu yang bikin kami kecewa. Semua tiba-tiba diambil alih, tanpa kompensasi yang jelas,” kata dia.

Kekecewaan itu, kata Thohiron, juga muncul karena pemerintah daerah tidak mendapatkan ruang untuk mengawal atau memperjuangkan nasib warga yang terdampak langsung oleh proyek. Ketika muncul keluhan atau aduan dari masyarakat, justru DPRD yang menjadi garda pertama yang harus menjawab—bukan instansi pusat yang membuat keputusan.

“Termasuk soal lahan masyarakat yang diganti, masih banyak persoalan. Dan aduan itu semua larinya ke kami, bukan ke pusat,” ujarnya. (CBA/ADV DPRD PPU)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *